Sabtu, 01 Oktober 2011

URGENSI AKAL DALAM ISLAM : Oleh Syamsul Arifin




Tidaklah sempurna iman seseorang
dan tidak teguh pula pendirian terhadap agamanya sampai sempurna akalnya
 (Hadits Nabi Muhammad)

                Adalah Aguste Comte ((1789-1853) yang mengatakan bahwa agama merupakan tahapan pertama dan paling rendah (baca primitif) dari tiga tahapan perkembangan intelektualitas manusia. Menurutnya, manusia memerlukan agama ketika mereka masih belum mampu mendayagunakan akalnya. Tapi, setelah berhasil mencapai tahapan metafisik dan ilmu pengetahuan positif (modern), mereka tidak lagi membutuhkan agama. Senada dengan Aguste Comte, Sigmund Freud dalam tulisannya ”The Furure of an Illusion” berkesimpulan bahwa agama akan menjadi penyakit syaraf (neurotik) yang mengganggu pikiran manusia secara universal (Daniel L. Pals: 2001; 91).
            Pernyataan Aguste Comte dan Freud di atas telah menimbulkan citra negatif (stigma) pada agama di tengah-tengah masyarakat modern. Agama dicitrakan sebagai kumpulan dogma yang paradok dengan semangat nalar insan-insan modernis, bahkan, agama dituduh sebagai ‘pembunuh’ nalar sehat manusia. Realitas kehidupan modern, khususnya di Barat yang berhasil menggapai puncak kejayaan melalui gerakan sekularisasi, sebagaimana diakui oleh Francis Fukuyama dalam bukunya “ The End of History”, telah melegitimasi stigma tersebut sebagai kebenaran empiris.
            Tesis Aguste Comte dan Freud di atas tidak berdasar dan sangat menyesatkan. Letak kesalahan hasil penelitian mereka adalah generalisasi prilaku keagamaan seluruh umat beragama yang didasarkan dari temuan yang bersifat kasuistik; prilaku keagamaan masyarakat pedalaman dan para pasien penyakit syaraf (neurotik).
Sebagai agama, Islam menolak tesis mereka di atas dan stigma agama yang berkembang di Barat. Doktrin-doktrin teologi Islam berbeda secara diametral dengan kesan buruk tersebut. Berbeda dengan stigma itu, Islam mempunyai apresiasi yang sangat kuat terhadap akal. Ia memiliki peran yang sangat fital. Tuhan sebagai titik fokus dan pusat bagi seluruh aktivitas kehidupan, terutama ritual keagamaan, diyakini sebagai Dzat Yang Maha Berakal, Berpikir, dan Berpengatahuan menjadi alasan utama bagi Islam menempatkan akal pada posisi sentral. Dalam Al-Qur’an misalnya, Allah sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui disebut sejumlah171 kali ( Al-‘Âlim, Al-‘Alîm, Al-‘Allâm disebut sebanyak 125, dan Khabîr sebanyak 46). Salah satu contoh ayatnya sebagai berikut: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana  (Q.S. Al-Baqarah: 32).
Atas dasar doktin teologis tersebut, filosof Muslim ternama, Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi, menyebut Tuhan dengan nama Al-Âqil (Dzat Yang Maha Berakal) (Harun Nasution: 1995;18). Wujud Tuhan sebagai Al-Âqil berpengaruh terhadap seluruh ciptaan-Nya (kosmos) dan firman-firmanNya yang selalu berada dalam nalar akal. Wujud Tuhan ini menuntut  manusia untuk dapat mendayagunakan akal secara maksimal jika berharap interaksinya dengan Tuhan (baca beribadah) dapat berjalan  secara efektif dan produktif. Hal yang sama juga harus dilakukan jika ingin mendapatkan pemahaman yang benar tentang firman-Nya  atau ilmu pengatahuan yang bervaliditas tinggi saat mengkaji ciptaan-Nya.
Karena Tuhan sebagai  Al-Âqil, maka manusia yang dipilih (al-musthafa) sebagai  utusan-Nya juga orang-orang yang cerdas (fathânah/tsiqqah), mereka yang mendayagunakan akalnya secara maksimal. Sungguh, apa yang akan terjadi jika  perintah Allah Yang Maha Cerdas diterima oleh orang-orang yang berdaya nalar rendah. Pasti, perintah itu dipahami dan diserp secara terbatas dan selanjutnya akan terjadi ketersesatan universal.
Di samping itu, manusia yang mempunyai keta’atan yang mutlak kepada Allah hanyalah orang-orang yang berakal dan berilmu pengetahun sebagaimana firman Allah yang berbunyi ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun ”(Q.S. Al-Fathîr: 28). Dan siapa pun yang ingin dekat dengan Allah, ia harus berkemauan keras mengasah daya nalarnya sebagaimana sabda Rasulullah ”tingkatkan daya nalarmu, maka semakin dekatlah kamu dengan Tuhanmu”.
Sampai pada titik ini, sudah dapat diketahui bahwa dalam doktrin teologi Islam, daya nalar akal berpengaruh secara kuat terhadap kualitas keberagamaan seseorang. Semakin kuat daya nalarnya, semakin tinggi kualitas keberagamaannya. Sebaliknya, jika keyakinan dan aktivitas keagamaannya sama sekali tidak berpijak pada nalar rasional, maka keberagamaannya akan rapuh, bagaikan buih di lautan atau tak ubahnya istana pasir. Cara seseorang beragama minus nalar tidak akan banyak berpengaruh terhadap dunia sosial, dunia tempat implementasi semua norma dan nilai agama. Hampir tidak ada bedanya antara beragama dan tidak beragama. Dalam konteks ini, patut direnungi sebuah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Umar Ibn Khattab yang berbunyi”Tidaklah sempurna iman seseorang dan tidak teguh pula pendirian terhadap agamanya sampai sempurna akalnya”.
Begitu urgennya akal dalam Islam, hampir semua ayat Al-Qur’an memuat pesan- pesan yang sangat kuat terhadap umat Islam (pembaca Al-Qur’an) agar mendayagunakan akalnya semaksimal mungkin. Pesan itu disajikan dalam bentuk kalimat, seperti.. tidakkah kamu berfikir (afalâ tafakkarûn), tidakkah kamu berakal (afalâ ta’qilûn), ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal (fâ i’tabirû yâ ulî al-Abshâr) serta beberapa varian kalimat lainnya. Berikut salah satu contoh ayatnya  Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Al-Maidah: 100)
Di samping mengharuskan umat Islam  untuk mendayagunakan akal, Islam juga memberikan proteksi terhadap akal agar fungsinya terjaga dan bekerja secara baik. Proteksi itu berupa larangan manusia memukul kepala dan mengkonsumsi sesuatu yang berpotensi merusak fungsi akal. Dari titik ini dapat diketahui mengapa Islam melarang minum khamar dan minuman beralkohol lainnya(Q.S. Al-Maidah: 90).
            Uraian singkat ini sudah cukup membuktikan bahwa dalam doktrin Islam, akal mempunyai peran dan fungsi yang sangat fital dalam menentukan kualitas keagamaan seseorang. Hampir tidak diakui sebagai orang beragama, seseorang yang tidak melibatkan nalarnya dalam menentukan keyakinan dan aktivitas keagamaannya. Berpijak dari pernyataan ini, maka salah satu kriteria seorang Muslim adalah orang yang berpikir kritis, termasuk kritis terhadap ajaran agamannya. Wa Allah a’lam bi al-shawâb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar