Kamis, 13 Oktober 2011

KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Syamsul Arifin[1]



Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tampa pengetahuan….. (QS. VI: 108)

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengganggu kaum dzimmi (non-Muslim),
maka ia telah mengganggu aku” (Al-Hadits)
 
            Hingga saat ini, perjalanan sejarah kehidupan manusia masih sulit terhindar dari konflik. Dan inorisnya, kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik acap kali membawa bendera agama atau aliran dalam agama, seperti perang Salib, konflik di Ambon dll, sehingga tidak terhindarkan adanya sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi konflik antar pemeluk dalam satu agama atau konflik  antar umat beragama. Kemudian kesimpulan tersebut digeneralisasi menjadi sebuah thesis bahwa adanya konflik agama disebabkan oleh keberagaman agama. Oleh karena itu, agama harus dijadikan satu atau agama sebaiknya ditiadakan agar tidak ada konflik lagi. Kesimpulan seperti ini pernah dilontarkan oleh pemikir Islam Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (865-934) 
            Kesimpulan ini tidak saja salah arah, tetapi juga sangat membahayakan bagi keberadaan agama-agama, termasuk agama Islam. Sebenarnya, jika dikaji secara teliti dan mendasar, meletusnya apa yang disebut dengan “konflik agama”, terutama konflik agama yang berskala besar, seperti perang Salib atau kasus Ambon, tidak hanya dipicu oleh kesadaran teologis yang sempit, tetapi juga dipicu oleh kesadaran primordialisme sosiologis, politis, dan ekonomis. Dan bahkan sebenarnya kesadaran jenis kedua yang menjadi faktor utama meletusnya sebuah konflik, kemudian kesadaran teologis diikutsertakan dalam konflik tersebut sebagai alat untuk mempermudah menarik simpati masyarakat yang seagama  dan sebagai strategi yang efektif untuk memobilisasi massa.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa meletusnya konflik agama bukan disebabkan oleh agama itu sendiri atau bukan disebabkan keberagaman agama semata, tetapi disebabkan oleh tingkat pemahaman umat beragama terhadap ajaran agamanya dan faktor-faktor lain di luar agama. Maka tingkat pemahaman keagamaan yang tinggi dan konprehensip menjadi power yang sangat dahsat bagi umat beragama untuk mencegah dan meredam meletusnya “konflik agama”.  
            Kebenaran agama yang bersifat absolut di satu sisi, keyakinan dan klaim umat beragama bahwa agamanya yang paling benar di sisi yang lain memang menjadi potensi yang tidak kecil yang mengarah kepada  munculnya “konflik agama”, tetapi kedua sisi tersebut didesain bukan untuk memicu “konflik agama”, tetapi untuk melahirkan gaerah keagamaan bagi umat beragama. Bahkan Al-Qur’an melarang keras umat Islam melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan agama lain, apalagi merugikan dan merusaknya.  Penjelasan ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’nam ayat 108 yang berbunyi: “ Dan janganlan kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melapaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apayang dahulu mereka kerjakan” .
            Dari uraian singkat di atas, penulis ingin kemukakan bahwa dalam perspektif Islam, kerukunan hidup beragama bukan sebatas dimaknai bagaimana perilaku keagamaan umat beragama tidak memicu lahirnya “konflik agama” yang secara konseptual direalisasikan dalam bentuk perilaku sosial, seperti menghormati agama orang lain dan tidak meng-Islam-kan secara paksa orang yang sudah beragama (QS. 109: 1-6), (QS.2:256), tetapi kerukunan dalam hidup beragama juga diartikan bahwa pemeluk agama non-Islam juga bagian dari umat Islam. Kerukunan dalam arti yang kedua ini teraktualisasi dalam konsep ukhwah wathaniyah dan ukhwah insaniah.
            Konsep ukhwah wathaniyah, sebagai aktualisasi dari kerukunan dalam arti yang kedua, secara jelas dijabarkan dalam Shahifah Madinah atau konstitusi negara Madinah – oleh banyak pengamat agama, sosial, dan politik Shahifah ini disebut  konstitusi modern. Dalam Shahifah tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Madinah yang terdiri dari beberapa suku dan agama sebagai umatan wâhidah (satu umat) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, seperti saling membantu dan saling melindungi antarsesama warga Madinah tanpa melihat asal agama dan suku. Hal ini dapat dilihat pada  pasal 25 berbunyi “Kaum Yahudi dari “awf  adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang dzalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya”, dan pada pasal 37 yang berbunyi “Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan adalah khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada yang teraniaya”. (lihat Muhammad Hamidullah, Majmu’ah al-Wasa’iq al-siyasiyyah li al-A’hd al-Nabawyy wa al-Khalifah al-Rasyidah; 1969, 39-47)
            Bahwa pemeluk agama non-Islam adalah sebagai bagian dari umat Islam sehingga disebut umatan wâhidah juga dapat dipahami dari Sabda Rasulullah yang berbunyi:” Barangsiapa yang mengganggu ( hadits lain “menyakiti ) kaum dzimmi, maka ia telah mengganggu aku (al-Hadits).
            Makna yang terkandung dalam hadits tersebut adalah bahwa di luar masalah teologi, kaum dzimmi[2] tidak saja bagian umat Islam, bahkan bagian dari kehidupan Rasulullah. Rasululllah menilai bahwa kaum Dzimmi juga turut berperan mewujudkan “masyarakat madani” yang dirintis oleh Rasulullah sendiri. Maka mengganggu kaum Dzimmi, berarti menciderai atau merusak “masyakarat madani”. Di sini Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, semua komponen-komponen masyarakat yang ada mempunyai andil yang tidak kecil dalam membangun sistem kehidupan. Maka rusaknya atau tidak berfungsinya salah satu komponen masyarakat, akan mengganggu atau bahkan merusak sistem kehidupan yang ada. Oleh karena itu, barangsiapa yang merusak suatu unsur dalam masyarakat yang sudah baik,  berarti secara tidak langsung ia telah merusak sistem kehidupan itu sendiri.
             Dalam hadits tersebut, Rasulullah seakan-akan ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi apa yang disebut dengan inter independensi, saling membutuhkan dan saling ada ketergantungan. Jika inter independensi menjadi sebuah prinsip dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak boleh tidak harus dipegang teguh oleh setiap anggota dan komponen masyarakat, maka memahami arti “kerukunan hidup beragama” adalah bagaimana antarumat beragama dapat saling melindungi, memelihara dan mengamankan, bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu mungkin dapat  meningkatkan sesuatu yang bersifat psikologis, sosiologis, profan-material duniawi yang dimiliki oleh setiap umat beragama.
Pemahaman “kerukunan hidup beragama” seperti ini akan bersifat aktif dan dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan itu sendiri. Dan secara ontologis, pemahaman kerukuanan seperti itu juga besar kemungkinan dapat menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh setiap umat beragama, seperti membangun struktur dan tata nilai kehidupan yang lebih beradab dan humanis.
Selanjutnya, konsep Ukhwah Insaniyah sebagai aktualisasi dari kekurukan yang termasuk dalam arti kedua dapat kita temukan dalam Sabda Rasulullah saw. yang disampaikan ketika beliau sedangkan menjalankan ibadah haji di ‘Arafah (Makkah) yang berbunyi: “ Wahai manusia, sesungguhnya jiwa, harta dan harga dirimu semua adalah mulia seperti mulia hari (‘Arafah) ini, tanah suci Makkah ini, dan bulan (haji) ini”.
Dalam hadits tersebut, Rasulullah mengawalinya dengan kata “wahai manusia” bukan dengan kata “ wahai orang-orang Islam atau orang-orang yang beriman”. Dalam hadits tersebut, tampak dengan jelas, bahwa Rasulullah mempunyai komitmen kemanusiaan yang bersifat universal dan sangat tinggi. Hal ini tampak jelas pada pandangan Nabi Muhammad yang secara tegas menyamakan kemuliaan jiwa dan harga diri manusia dengan kemulian tanah Suci Makkah dan bula Haji.
 Jiwa dan harga diri manusia merupakan simbolisasi dari unsur-unsur internal dan bersifat inheren  pada setiap diri manusia. Pada dasarnya, setiap manusia mendambakan kedekatan kepada Tuhan, kejujuran, keadilan, kedamaian, kebenaran yang bersemayam dalam jiwanya dan menolak hal-hal yang bersifat kebalikannya. Semua ini menjadi titik temu untuk menyatukan umat beragama yang satu dengan lainnya. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan  oleh Islam, membenci, apalagi menyakiti atau membunuh seseorang hanya alasan berbeda agama. Dan Al-Qur’an sendiri hampir tidak pernah mengecam manusia, tetapi yang dikecam Al-Qur’an adalah sifat-sifat manusianya, seperti term “al-mujrîmûn, al-munâfiqûn, al-kâfirûn” dll.
Berbeda dengan konsep Ukhwah Wathiyah, dimana pemaknaan “Kerukunan Hidup Beragama” ditekankan kepada dimensi sosialnya karena manusia (baca umat beragama) ditempatkan sebagai makhluk sosial, dalam konsep Ukhwah Insaniyah, pemaknaannya ditekankan kepada pemahaman eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan yang secara individual mempunyai banyak kesamaan nilai-nilai antara manusia yang satu dengan lainnya.  
Penutup.        
            Sebenarnya, konsep “kerukunan hidup beragama” yang ada selama ini kemunculannya didorong oleh adanya pemahaman terhadap apa yang disebut dengan “konflik agama”, sehingga wujud konsep tersebut bersifat reaktif. Maka wajar jika konsep tersebut  mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam menjawab persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antar umat beragama. Adanya konflik yang membawa simbol-simbol keagamaan akhir-akhir ini adalah contoh konkrit dari kebenaran pernyataan di atas. Oleh karena itu, merekonstruksi konsep “Kerukunan hidup beragama” tersebut, merupakan agenda yang sangat mendesak untuk dilakukan. Dan makalah yang sangat sederhana ini dapat dinilai sebagai langkah awal untuk melakukan proyek tersebut.




[1] .Pemakalah adalah Staf Pengajar di Universitas Udayana
   
[2]               Kaum Dzimmi atau kafir Dzimmi merupakan istilah yang banyak digunakan dalam dunia fiqh, termasuk fiqh al-siyasi. Dalam kajan fiqh, kafir Dzimmi didevinisikan sebagai kelompok masyarakat non-Muslim yang hidup ditengah-tengah umat Islam dan bersedia menjalankan sistem aturan yang ada, seperti membayar Jazyah (upeti). Dalam kajian sosial, kaum Dzimmi mungkin dapat dipahami sebagai simbolisasi dari sebauh komponen masyarakat non Muslim yang berprilaku baik, taat terhadap sistem aturan yang ada dalam masyarakat, serta berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.

4 komentar:

  1. Kerukunan umat beragama memang wajib kita jaga, selain karena kita adalah makhluk sosial, tetapi juga karena ajaran Rasulullah SAW. Terlepas dari itu semua, tanpa disadari kita juga memerlukan bantuan kaum Dzimmi dalam beberapa hal, dan perlu disadari bahwa setiap orang menginginkan perdamaian, jika bukan Muslim yang mencontohkan perdamaian, siapa lagi...

    Ferdy Arhami (Elektro; 0804405014)

    BalasHapus
  2. Kerukunan umat beragama harus di jaga baik, sebagai umat yang beragama kita harus menghormati dan menjaga silahturahmi menurut ajaran agama islam, agar terciptanya kerukunan umat beragama di dunia.

    Radinal Muchtar (Sipil; 0904105106)

    BalasHapus
  3. Tingkat pemahaman keagamaan yang tinggi dan konprehensip menjadi power yang sangat dahsat bagi umat beragama untuk mencegah dan meredam meletusnya “konflik agama”.

    Yulian Krisbianto
    Teknik Sipil
    0804105040

    BalasHapus
  4. Penyebab utama pertikaian antar umat agama biasanya adalah perbedaan, dan kurang dewasanya suatu individu atau kelompok. Terlalu mengagungkan agama masing-masing, memang benar agama Islam adalah agama paling indah, paling benar, namun bila pernyataan ini diungkapkan di depan umat agama lain maka jelas akan tersinggung. Oleh karena itu, seperti kata guru agama di SMA saya dulu "Ada kalanya kebenaran itu lebih baik jika disimpan dalam hati" maksudnya adalah kebenaran tentang islam tidak perlu diumbar di depan umat agama lain, tapi untuk diri sendiri dan untuk sesama muslim.
    (0819351025 Mesin '08)

    BalasHapus