Kamis, 13 Oktober 2011

MENYOAL HUKUM SALAM KEPADA NON-MUSLIM: Syamsul Arifin



Pendahuluan

            Mengucapkan salam (ifsyâ’al-salâm) dan menjawabnya dengan kalimat ”Assalamu’alaikum” atau “Assalamu’alaikum wa rahmatullâhi” atau “Assalamu’alaikum wa rahmatullâhi wa barakâhu[1] kepada non-muslim hingga saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam.
            Pendapat yang populer di tengah-tengah masyarakat Islam adalah  mengucapkan salam kepada non Muslim hukumnya haram. Pendapat ini berdasarkan hadîts-hadîts Nabi Muhammad s.a.w. Salah satu  hadîts  Nabi yang dijadikan pegangan adalah sabda Nabi Muhammad “jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi  dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah dia ke pinggir.”[2] Hadits ini diriwayatkan oleh  Muslim, Abû Dâud, dan Turmidzî  melalui Abû Hurairah r.a. Hadits ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam, tetapi juga menyuruh orang Islam untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu  mendesak siapa pun di golongan mereka ke pinggir jalan.
            Selain itu, terdapat juga hadîts lain yang menceritakan bahwa sekelompok orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad s.a.w. sambil mengucapkan “Assamu ‘alaikum” (kehinaan, kematian bagimu). Menyaksikan peristiwa itu, ‘Aisyah, Istri Nabi, mengucapkan ‘Wa ‘alaikumussam walla’nah” (“Dan bagimu kematian dan laknat”) kepada para tamu Nabi yang sikap permusuhan tersebut. Lalu Nabi menegur ‘Aisyah, “Perlahan-perlahan hai ‘Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai kasih sayang dalam semua urusan”, maka ‘Aisyah bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah., apa engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Rasulullah menjawab, “Aku telah mengucapkan “Wa ‘alaikum” (bagimu kematian)[3]. Hadîts ini diriyawatkan oleh Al-Syaikhâni (Bukhori Muslim) dan Turmidzî melalui ‘Aisyah. Bahkan dalam hadîts lain yang diriwayatkan oleh Muslim dijelaskan, bahwa setelah mendengar perkataan mereka, ‘Aisyah memaki-maki mereka (fa sabbathum). Nabi segera menghentika tindakan ‘Aisyah dengan mengatakanSudah cukup ‘Aisyah. Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai perkataan tidak sopan (fuhsy) dan jangan bertindak tidak sopan (tafahhusy).[4]” Ada beberapa hadîts lainya lagi, meskipun  dengan redaksi-redaksi yang agak berbeda, tetapi isinya sama dengan  hadîts ‘Aisyah di atas.[5]
            Hadîts-hadîts (kisah-kisah ‘Aisyah) yang dijadikan pegangan oleh para ulama yang mengharamkan mengacapkan (baca menjawab) salam terhadap non-muslim di atas memiliki banyak catatan; Pertama, kalimat yang diucapkan oleh Yahudi bukanlah salam Assalamu a’laikum” yang mengandung pesan perdamaian, kalimat “Assamu ‘alaikum”, yang mengandung umpatan penghinaan kepada nabi. Kedua; yang memulai pengucapan kalimat umpatan tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi itu adalah sikap kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi tidak berkenan terhadap sikap reaktif ‘Aisyah dan menegurnya agar ia tidak bertindak kasar dan  melaknat para tamu Yahudi tersebut karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekerasan dan ketidaksopanan tamu jangan sampai menghilangkan keramahan dan kelembutan tuan rumah.
            Jika diteliti dari redaksinya (matn)nya, hadits yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah menyampaikan pesan moral yang berbeda dengan pesan moral yang tertandung dalam hadits yang diriwayatkan melalui ‘Aisyah.             Hadîts Nabi yang melalui Abu Hurairah di atas menampilkan Islam yang tidak santun dan kasar (……Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah dia ke pinggir.), sedangkan hadîts yang melalui ‘Aisyah menampilkan Islam yang penuh dengan keramahan dan kelembutan (……..Perlahan-perlahan hai ‘Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam semua urusan).
            Uraian singkat di atas memberikan gambaran bahwa hukum tentang mengucapkan dan menjawab salam ahli kitab atau kaum Dzimmî yang difatwakan oleh para ulama belum final karena berada dalam wilayah khilafiyah. Oleh karena itu, pendapat mereka tentang salam masih bisa dikritisi kembali. Hal ini penting dilakukan karena setiap hukum, termasuk mengucapkan menjawab salam non Muslim, mengandung implikasi sosial yang cukup signifikan, terutama dalam lingkungan masyarakat dinama umat Islam menjadi kelompok minoritas. Di samping itu,  hukum salam dan ketentuan menjawab salam Non Muslim yang populer di masyarakat -- dinama hukum tersebut memiliki potensi diskriminasi dan kepura-puraan (mendekati sifat hipokrit) -- tidak senafas dengan nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip dasar Islam, seperti keadilan (al-‘adâlah) dan kerahmatan (al-rahmat).   
            Dalam membedah kembali hukum mengucapkan dan menjawab salam Non Muslim, penulis menggali pemikiran para ulama dari kelompok dan generasi yang berbeda. Sayyid Quthb dan Ibnu Katsîr merupakan representasi dari kalangan pemikir tektual. Sebagai pembanding, penulis juga menghadirkan pemikiran Syekh Mansûr ‘Alî Nâsif dan Muhammad Abduh  sebagai refresentasi dari kelompok pemikir kontekstualis-inklusif.
            Tulisan ini sama sekali tidak mempunyai pretensi untuk ‘mengeluarkan’ masalah tersebut dari wilayah khilafiyah. Tapi, setidak-tidaknya, penulis dapat mengungkapkan bahwa pendapat ulama tentang salam yang berkembang di masyarakat bukan satu-satunya, tetapi ternyata ada pendapat lain yang berbeda yang juga berpijak pada teks Al-Qur’an dan Hadits yang disertai dengan argumentasi yang tidak bisa dipandang lemah. Dengan tulisan sederhana ini, diharapkan masyarakat memiliki pemahaman yang luas tentang hukum salam terhadap non-Muslim berikut implikasi sosial, selanjutnya mereka dapat memilih secara tepat pemikiran-pemikiran yang tersaji sesuai dengan kebutuhan masyarakat multikultural dan karakter Islam yang asasi.

Pendapat Ulama Tekstualis: Salam kepada Non Muslim berikut Implikasi sosialnya
            Salah seorang ulama yang secara tegas melarang mengucapkan salam kepada non Muslim adalah Sayyid Quthb. Menurutnya, salam tidak layak diucapkan kepada non Muslim karena disamping salam merupakan penghormatan (tahiyyah) kepada sesama Muslim, salam juga meruapakan budaya Islam yang sangat khas sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim. [6]
            Berpijak pada pada ayat 86 surat Al-Nisa’, Quthb menjelaskan lebih jauh nilai tahiyyah (penghormatan) yang ada pada salam. Baginya, tahiyyah yang ada pada salam mengadung hal yang bersifat kareteristik. Ia merupakan manhaj Islami untuk membentuk karakter umat Islam yang khas. Karenanya penggunaan tahiyyah mempunyai tata aturan (nidzam). Menurutnya, perbedaan  tahiyyah dalam Islam dengan agama lainnya  sama halnya perbedaan dalam masalah kiblat dan aqidah.[7]
            Di samping itu, kata Quth,  tahiyyah  menjadi media perubahan yang paralel (kontinu) sekaligus sebagai media komunikasi untuk menguatkan tali asih dan hubungan kekerabatan antara individu-individu dalam masyarakat Islam. Mengucapkan salam dan menjawab tahiyyah dengan cara yang lebih baik adalah cara yang terbaik untuk menumbuhkan hubungan dan ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan sebagai dampak psikologis yang ditimbulkan dari ucapan salam hanya akan terjadi di kalangan umat Islam. Efektifitas dampak psilokogis akan lebih terasa jika salam disampaikan orang Islam yang belum dikenal sebelumnya.[8] Dari pandangannya ini, Quth meyakini bahwa salam sebagai budaya tahiyyah dalam Islam tak akan berdampak psikologis bagi non muslim jika salam itu diucapkan kepada mereka. 
            Berdasarakan pada ayat yang sama (Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 86), Ibnu Katsîr memiliki pandangan yang hampir sama. Menurutnya,  tidak boleh bagi seorang Islam mengucapkan salam kepada non Muslim (baca Dzimmî). Namun, kalau sekedar menjawab salam mereka diperbolehkan berdasarkan Hadîts yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbâs: Barangsiapa mengucapkan salam dari makhluk Allah (manusia), maka jawablah, meskipun dia seorang Majusi.[9] Meskipun diperbolehkan menjawab salam non Muslim, tetapi isi jawabannya berbeda dengan jewaban salam kepada salam Muslim. Jawaban salamnya cukup dengan kalimat yang sepadan (bi mitslihâ/mutamatsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadîts shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Abu Hurairah r.a, yakni kailmat wa alaikum.[10]
Pendapat Ibnu Katsîr tersebut relatif agak longgar jika dibandingkan dengan pendapat Sayyid Qutb. Namun demikian, pandangan Katsîr tersebut terkesan ragu-ragu dalam menjelasakan kalimat jawaban salam. Dalam menguraikan surat Al-Nisa’ ayat 86, satu sisi Qutb menggunakan Hadits Ibnu Abbas, sedangkan di sisi yang lain, dia menggunakan dua hadîts shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Abu Hurairah r.a. Ada kesan kuat bahwa Ibnu Katsîr lebih condong pada dua hadits terakhir. Artinya, Ibnu Katsîr lebih menganjurkan untuk menjawab dengan jawaban wa alaikum.
Jika benar pandangan Ibnu Katsîr demikian, berarti pendapatnya itu bertentangan dengan pendapat Ibnu Qatadah yang dikutip dalam bukunya, Tafsîr Al-Qur’an al’Adzîm. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qatadah dalam menguraikan surat Al-Nisa’ ayat 86, bahwa ayat “fa hayyû bi ahsana minhâ” untuk orang Islam, sedangkan ayat “aw ruddûhâ” untuk masyarakat Dzimmî. Adapun terhadap masyarakat Dzimmî tidak boleh mengawali mengucapkan salam, juga tidak boleh melebihi.[11] Pendapat Ibnu Qatadah yang dikutip Ibnu Kastîr tersebut justru lebih longgar, lebih jelas dan tegas daripada pendapat Ibnu Katsîr sendiri meskipun kelonggarannya tersebut masih berbau diskriminasi. 

Pendapat Ulama Kontekstualis: Salam kepada Non Muslim berikut Implikasi sosialnya
Pendapat ulama-ulama tektualis di atas tidak searah dan ditolak oleh ulama-ulama kontektualis. Misalnya, Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif sebagai representasi ulama kontekstualis mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-Tâj”, umat Islam dianjurkan menjawab salam dengan kalimat wa alaikum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud menghina, misalnya dengan kalimat ‘al-sâm’ atau dengan kalimat lain yang memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim. Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 86 menurut Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat salam.[12] 
Dengan kata lain, salam yang wajib dijawab adalah salam yang betul-betul mengandung nilai dan pesan salam baik dari segi orang yang mengucapkan maupun dari segi kalimat yang diucapkan. Meskipun salam itu keluar dari lisan kafir Dzimmî tetapi diucapkan dengan penuh kesungguhan (berdoa dan bagian dari upaya damai) maka wajib dijawab. Namun sebaliknya, jika dalam salam itu tidak mengandung pesan-pesan salam, seperti doa, maka cukup dengan jawaban wa ‘alaikum atau wa alaika, meskipun salam itu diucapkan oleh seorang Islam.   
Hal ini berdasar pada Hadîts yang diriwayatkan melalui Salman Al-Farisi, bahwa Nabi Muhammad pernah menjawab salam dengan kalimat “’alaika” kepada laki-laki yang mengucapkan salam dengan kalimat lengkap. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi Allah, demi bapakku, engkau, dan ibuku, fulan dan fulan datang kepadamu dan mereka mengucapkan salam kepadamu, engkau menjawabnya dengan jawaban yang lebih lengkap daripada kepadaku”. Nabi menjawab: Sesungguhnya kamu tidak mendo’akan apa-apa kepada kami.”[13] Hadits Nabi ini semakin memperjelas bahwa menjawab salam seseorang itu tidak berkaitan dengan latar belakang agama (Islam dan Non Islam/ kafir Dzimmî), tetapi didasarkan pada kualitas dan substansi salam.
            Pemikiran Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif tentang menjawab salam non Muslim di atas jauh lebih maju dibandingkan dengan Quth, Ibnu Katsîr, bahkan dalam masalah mengucapkan salam (ilqa’ al-salam) kepada non Muslim pun juga lebih maju dariapada pendapat keduanya. Jika bagi Quth, dan Ibnu Katsîr haram hukumnya memulai salam kepada non Muslim (pendapat yang sama juga disampaikan oleh Al-Nawawi), bagi Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif, larangan yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah r.a. itu tidak mencapai haram, tatapi hanya makruh, bahkan bisa mubah jika salam itu mendatangkan manfaat dan menghindari dari bahaya.[14]
            Selain Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif,  Muhammad Abduh juga berpandangan bahwa wajib bagi umat Islam menjawab salam non Muslim. Selain itu, dia berpendapat sunnah hukumnya bagi mereka mengucapkan salam (ifsya’ salam) kepada kaum Dzimmî.
             Mengutip penjelasan Al-Razi dalam al-Nadzam, terkait dengan ifsya’ salam kepada non Muslimi, Abduh mengatakan bahwa ada 2 (dua) masalah yang penting diperhatikan; pertama, ketika umat Islam diperintahan untuk berjihad, mereka juga diperintahkan untuk rela berdamai jika musuh-musuh itu menghendaki perdamaian (Q.S. Al-Anfal: 62); kedua, asbâb al-nujûl ayat tahiyyah (Q.S. Al-Nisa’: 86). Menurutnya, ayat ini turun setelah ada peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Muslim terhadap seorang non-Muslim di medan perang atau sekitarnya. Sebelum peristiwa terjadi, si korban menyapa dan menyucapkan salam kepadanya. Tapi, orang Islam tersebut tidak menoleh dan menjawab salam, tetapi malah membunuhnya. Setelah kejadian itu Allah mencegah umat Islam dari hal tersebut dan memerintah mereka untuk menyambut siapa saja mengucapkan salam kepada mereka, menghormati mereka dengan penghormatan yang sesuai dengan perhormatan yang mereka terima atau lebih baik lagi.[15]
Untuk masalah yang pertama, Abduh menegaskan bahwa cara ber-tahiyyah (penghormatan) bagi umat Islam adalah dengan isyfa’ Al-salam.[16] Berbeda dengan pandangan Quth yang meletakkan salam sebagai sesuatu yang eksklusif, Abduh  menempatkan salam untuk syiar; bahwa  Islam adalah agama damai dan aman. Al-salm adalah seuatu yang sangat asasi dalam Islam. umat Islam adalah ahli damai dan pencinta kedamaian.[17]
Disamping itu, Abduh menempatkan  Islam sebagai agama umum. Artinya, adab-adab dalam Islam dapat dilakukan masyarakat luas di luar Islam. Sebagai agama, Islam mempunyai tujuan menyebarkan adab-adab dan keistimewaan-keistimewaan Islam pada seluruh manusia walaupun dengan cara bertahap. Secara umum, tujuan Islam adalah menciptakan persaudaran global. Maka wajar kata Abduh, jika di antara adab Islam yang populer di zaman Nabi adalah Ifsya’ al-salam.[18]
Budaya salam di zaman Nabi tidak hanya bersifat verbalistik, tetapi juga bersifat aplikatif yang berimplikasi pada terciptanya suasana aman dan nyaman dalam kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Abduh tentang praktik salam di zaman Nabi. Menurutnya, di zaman Nabi, siapa yang mengucapkan salam kepada seseorang, berarti dia memberi rasa aman kepadanya. Maka kalau dia mengucapkan salam kemudian  membunuhnya, berarti dia telah berhianat terhadap perjanjian.[19]  Salam di zaman Nabi seakan-akan berfungsi ganda, di samping sebagai doa, tetapi juga garansi keamanan dan kenyamanan dari si pengucap kepada  orang yang dimaksud atau yang mendengarkannya.
 Karena salam menjadi budaya (adab) yang mapan, menurut Abduh, orang-orang Yahudi biasa mengucapkan salam pada Nabi, dan Nabi menjawabnya dengan kalimat alaikum al-salam. Hubungan baik kaum Yahudi-Muslimin yang diikat oleh budaya salam ini berakhir setelah sebagian kaum Yahudi ini merubah lafadz al-salâm dengan lafadz al-sâm sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi (di atas). Setelah kejadian itu, Nabi menjawab ucapan mereka dengan “wa alaikum”.[20] Dan selanjutnya Rasulullah memerintah kepada para sahabat untuk menjawab salam kaum Yahudi  dengan kalimat “wa alaikum” agar umat Islam tidak tertipu oleh orang-orang Yahudi yang merubah “al-salam” menjadi “al-sam”.[21]
Selang beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, Nabi melarang umat Islam yang hendak pergi menemui Yahudi Quraidzah ( sekte Yahudi yang menghiyanati Shuhuf al-Hudaibiyah) mengucapkan salam kepada mereka ( Hadits Abu Hurairah  wa la tabdaû al-Yahûda wa lâ al-Nashâra bi al-salâm……..).[22]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa adanya larangan Nabi Muhammad  mengucapkan salam kepada kaum Yahudi dan anjuran menjawab ‘wa alaikum’ terhadap salam mereka hanya sebagai akibat atas sikap dan prilaku sebagian kaum Yahudi yang merubah kalimat al-salam menjadi al-sam. Sebelum peristiwa itu terjadi, larangan dan anjuran itu tidak ada. Berarti larangan ifsya’ al-salam kepada Dzimmî dan anjuran menjawab wa alaikum untuk salam mereka bukan merupakan hukum asal dan tidak berlaku secara umum. Oleh karana itu, menurut Abduh, Hadits-Hadits tentang larangan mengucapkan salam kepada kaum Dzimmî atau ahli kitab dan anjuran menjawab salam mereka dengan kalimat wa alaikum berada dalam ketentuan (qadiyah) khusus.[23]
Namun, sayangnya selama ini keberadaan Hadits-hadits tersebut diperlakukan secara umum dengan menafikan asbab al-wurud-nya. Memberlakukan secara umum Hadits-hadits yang memiliki qadiyah khusus patut dipertanyakaan kebenarannya. Menurut Abduh, keberadaan hukum sesuatu dipertahakan jika illat masih ada pada sesuatu itu. Namun, jika illat itu sudah tiada, berarti status hukumnya berubah. Pemikiran Abduh ini berdasarkan pada ketentuan qaidah sesungguhnya hilangnya hukum sesuatu karena hilangnya sebab yang ada padanya”. [24]
Kebenaran pendapat Abduh bahwa salam kepada kaum Dzimmî bukan sesuatu yang dilarang didukung Hadits atau Atsar yang diriwayatkan dari sebagian Sahabat seperti Ibnu Abbas, mereka (para Sahabat) mengucapkan salam kepada kaum DzimmîAl-salâm ‘alaik”. Menurut Abduh, Sya’bî, salah seorang imam salaf, berkata kepada orang nasrani “ al-sâlam ‘alaih wa alaik al-salâm wa rahmatullahi ta’alâ.”. Dalam hadîts Bukhori sendiri, ada perintah mengucapkan salam terhadap orang dikenal dan yang tidak dikenal.[25] Dikatakannya,  merujuk pada Syarah Muslim, Imam Nawawi memperbolehkan  umat Islam mengucapkan kepada non-Muslim berdasarkan hadîts yang diriwayatkan melalui Ibn Abbâs, ibn Abî Umamah.[26]
Dengan adanya Hadits-hadits tersebut, Abduh semakin yakin bahwa mengucapkan salam kepada non Muslim bukan sesuatu yang dilarang, apalagi salam itu menurutnya merupakan hak umum. Karena dari salam didapatkan dua hal yang didambakan oleh setiap orang yaitu: (1) penghormatan yang mutlak dan (2) terwujudnya keamanan bagi pengucap dan pendengar salam dari tindakan penipuan, pesakitan, dan  dari hal-hal yang tidak baik lainnya.  Alasan Abduh menempatkan salam sebagai hak umum didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabranî dan Baihaqî melalui Abî Umâmah: “Sesungguhnya Allah Ta’alâ menjadikan salam sebagai kehormatan umat kami dan sebagai keamanan bagi kaum Dzimmî.” [27]
Karena salam merupakan hak umum, maka tidak ada alasan bagi umat Islam melarang non Muslim mengucapkan salam. Dalam sejarah kehidupan para sahabat. Tidak ditemukan seorang sahabat pun yang melarang orang Yahudi mengucapkan salam. Mereka tahu betul bahwa salam adalah tahiyyah ala Islam. Karenanya mereka tidak keberatan masyarakat secara keseluruhan, termasuk kaum Yahudi untuk mengikuti adab Islam.[28] Larangan itu justru dari orang-orang yang datang sesudah era sahabat.  Mereka melarang non-Muslim mengucapkan salam. Bahkan bukan hanya salam, tetapi juga segala sesuatu yang dilakukan orang Islam, termasuk melihat Al-Qur’an dan membaca buku-buku yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an.[29]
Meskipun tindakan pelarangan itu bertujuan melindungi keagungan dan kemurnian agama, tetapi dalam pandangan Abduh justru tindakan itu kontraproduktif dengan hakekat ajaran Islam. Berbeda dengan sikap umat Islam dalam memproteksi keagungan Islam, Kaum Yesus di zaman ini justru begitu giat menyebarkan agama mereka dan membagi-bagikan banyak kitab mereka pada masyarakat secara gratis, menerima anak-anak orang non-Kristen belajar di sekolah-sekolah mereka. Di sisi yang lain, Eropa marah ketika Khudaiwi Mishra (Ismail Basya) menemui mereka untuk menggati kalender masehi dengan kalender hjiriyah. Klimaknya, hari minggu menjadi hari libur nasional di beberapa negara Islam. Menurut Abduh, ini sebagai akibat cara umat Islam yang salah memproteksi budayanya. Lebih eroni lagi, umat Islam masih tetap senang melarang mereka (non-muslim) mengadopsi adab-abad dan budaya-budaya umat Islam, dan mereka meyakini bahwa ini dilakukan untuk keagungan Islam.[30]
Pada tahapan ini, Abduh melihat bahwa penyebaran agama Nasrani berikut budayanya yang begitu pesat sampai masuk ke dalam budaya Islam ada hubungannya dengan adanya larangan bagi non Muslim menyucapkan salam dan menirukan budaya-budaya atau adab-adab Islam lainnya. Jika larangan itu tidak ada, besar kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya, budaya atau adab-adab Islam akan menjadi bagian dari budaya mereka. Jika hal ini terjadi, tujuan-tujuan Islam sebagaimana diungkapkan oleh Abduh di atas dapat terwujud dengan mudah.
Apa yang diasumsikan Abduh di atas belum tentu terwujud. Sekurang-kurangnya ada dua kemungkinan yang akan terjadi jika non Muslim mengikuti adab-adab Islam; pertama, mereka menggunakan abad-abad Islam, seperti salam tidak hanya pada tingkatan verbalistik, tetapi juga pada tingkatan substansialistik. Jika hal ini yang terjadi, mereka pasti memiliki prilaku yang islami meskipun agama mereka Yahudi atau atheis sekali pun; kedua, mereka mengikuti hanya pada tingkatan verbal atau formalnya saja. Pada kemungkinan yang kedua ini, syiar Islam hanya bergerak pada tataran verbal atau formal, tidak merembes pada  nilai-nilai Islam yang essensial. Peniruan terhadap adab Islam sebatas verbal tampaknya berdampak positif bagi Islam, tetapi sesungguhnya di balik verbalitas atau formalitas peniruan ini ada ancaman serius berupa bergeser atau keringnya nilai-nilai yang melekat adab itu sendiri. Di sini, dapat difahami mengapa sebagian ulama melarang Non Muslim meniru adab-adab Islam seperti salam. Misalnya, umat Islam yang mengikuti fatwa ulama tersebut berpandangan bahwa ada kecenderungan  kemungkinan prediksi yang kedua yang terjadi dengan segala implikasi negatifnya. Pilihan berikutnya adalah mengikuti pendapat  sebaliknya, umat Islam dilarang mengucapkan salam kepada non-Muslim. Secara tersirat, larangan ini  mengandung penolakan terhadap non-Muslim menggunakan budaya Islam, dan  di luar kesadaran mereka, membiarkan budaya Non Muslim masuk ke dalam kehidupan umat Islam atau memperbolehkan mereka mengikuti adab-abad Islam hingga syiar Islam tetap berjalan meskipun ada konsekwensi nilai-nilai yang melekat adab tersebut akan terdistorsi. Berbagai pilihan  ini tidak mudah dilakukan kerena masing-masing memiliki dampak negatif yang sama beratnya bagi Islam dan umat Islam. Tapi, bagi Abduh dampak pelarangan itu jauh lebih berat, di samping wilayah syiar Islam dibatasi sehingga universalitas ajaran Islam tidak banyak diketahui oleh Non Muslim, juga umat Islam tidak dapat menahan laju kampaye agama dan budaya kaum Dzimmî sampai masuk ke dalam kehidupan umat Islam. Inilah yang menjadi bahan pertimbangan Abduh atas ketidak setujuannya terhadap pelarangan itu.           
Sementara  terkait dengan hukum tentang menjawab salam Non Muslim ada dua hal yang mejadi perhatian Abduh; (1) hukum menjawabnya; (2) adab menjawabnya. Menyangkut hukum menjawab salam non Muslim, Abduh sangat memahami bahwa hal ini juga masih menjadi khilafiyah di kalangan ulama salaf dan khalaf. sebagian ahli fiqh berpendapat wajib menjawab salam mereka sebagaimana wajibnya menjawab salam orang Islam, tetapi sebagian yang lain mengatakan sunnah. Dan di dalam al-Khaniyah salah satu kitab al-hanafiyah dijelaskan apabila orang Yahudi atau Nasrani atau Majusi mengucapkan salam, hukumnya mubah menjawabnya.[31]
Dalam hal ini, pendapat Abduh sama dengan penjelasan Syekh Mansûr ‘Alî Nâsif di atas, yakni wajib sebagaimana menjawab salam sesama Muslim. Hukum wajib itu berlaku bilamana unsur-unsur penting dalam salam itu terpenuhi (lihat penjelasan Syekh Mansûr ‘Alî Nâsif di atas). Abduh tidak setuju dengan pendapatnya  Sayyid Quth di atas dimana umat Islam cukup menjawab wa alaukum atas salam kaum Dzimmî hanya karena berdasarkan hadits Nabi.  Menurut Abduh, perintah Rasulullah untuk menjawab salam mereka cukup dengan wa alaikum sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits di atas harus difahami konteksnya. Hadits-hadits salam yang dijadikan dasar oleh ulama seperti Qutub disabdakan oleh Nabi dalam suasana perang. Karena dalam suasana perang, Nabi tidak akan memberikan jaminan keamanan bagi musuh-musuhnya. Kalau Nabi menjawab dengan  wa alaikum salam, berarti Nabi berkewajiban melindungi keamanan mereka. Dalam suasana perang, hal itu tidak mudah dilakukan oleh Nabi. Oleh sebab itu, pilihan terbaiknya Nabi cukup menjawab wa alaikum. Karena Hadits-hadits tersebut dalam kontek perang, berarti itu berlaku khusus, yakni dalam suasana perang saja.[32] (hukum yang terkandung dalam teks tidak berdasarkan keumuman teks itu sendiri, tetapi berdasarkan pada sebab yang bersifat khusus). Dengan demikian, dalam suasana normal dan damai menurut Abduh, umat Islam wajib menjawab salam non Muslim sebagaimana penjelasan yang terdapat pada dzâhirnya ayat 86 S. Al-Nisa.[33]
Dalam hal abad menjawab salam mereka (kaum Dzimmî), Abduh menolak penjelasan Qatâdah dan ibn Zaid yang mengandung unsur diskrimanasi agama dan status sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh Qatâdah dan ibn Zaid [34] berdasarkan pada Q.S. Al-Nisa’ 86, bahwa menjawab tahiyyah yang lebih baik itu untuk orang-orang Islam, sedangkan jawaban yang sepadan untuk ahli kitab, dan juga kaum kafir secara umum. Selanjutnya, dia mengatakan menjawab salam yang lebih bagus ditujukan pada orang-orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, seperti ulama, sedangkan menjawab salam yang sepadan ditujukan pada orang-orang yang tidak berderajat tinggi.[35]
Penjelasan Qatadah tentang perbedaan jawaban tersebut, kata Abduh, tidak ada dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun hadîts, bahkan penjelasan tersebut bertentangan dengan hadîst yang diriwayatkan Ibn Jarîr dari Ibnu Abbâs r.a. Rasulullah bersabda:”Barangsiapa dari makhluk Allah yang mengucapkan salam kepadamu hendaklah dijawab meskipun dia seorang Majusi. Menurut Abduh,  kewajiban membalas penghormatan orang lain sebagaimana dimaksud Al-Qur’an .S. Al-Nisa’ ayat 86 itu sama sekali tidak melihat latar belakang agama dan status sosial seseorang. Penghormatan atau salam yang sepadan (mutamâtsilah/ruddûha) atau yang lebih baik (ahsana minhâ)  itu dasarkan pada aspek kalimat salam yang diucapkan dan aspek tata cara, bahasa tubuh, serta keras dan pelannya suara saat menjawab salam. [36]
Apa yang dikatakan Abduh di atas menunjukkan konsistensi pemikirannya bahwa salam sebagai tahiyyah dalam Islam bersifat umum dan mengandung nilai-nilai universal. Universalitas nilai-nilai yang ada dalam salam menutup peluang timbulnya tindakan diskriminatif dalam praktik salam. Maka penjelasan Qatadah di atas yang memberlakukan ayat …aw ruddûha untuk non Muslim dan atau  orang-orang Islam yang berstatus sosial rendah  serta ayat ….bi ahsama minha untuk Muslim dan atau para ulama berlawanan dengan nilai-nilai universal salam. Di samping itu, menjawab salam yang didasarkan atas pertimbangan latar belakang agama dan status sosial pengucapnya juga bertentangan dengan dzahir ayat  yang berbunyi … Dan janganlah mengatakan terhadap orang yang menyampaikan salam kepada “kamu bukanlah orang yang beriman (Q.S. Al-Nisa’: 94).
Penutup
            Sebagai uraian penutup, penulis melihat kekuatan hujjah ulama-ulama tektualis terletak pada Hadits-hadits yang dijadikan sebagai marji’nya. Hadits-hadits tersebut tidak hanya jelas maksudnya dilihat dari dzahir teks hadits, tetapi juga sanadnya tidak bermasalah (artinya, kemungkinan masuk dalam katagori mutawatir), apalagi perawinya sekelas Imam Bukhori dan Muslim. Namun, sayangnya dalam menjelaskannya mereka tidak  mengikutsertakan asbâb al-wurûd Hadits-hadits yang dimaksud. Padahal itu bagian terpenting dalam memahami isi dan menggali hukum (istimbath al-hukm) yang dikandungnya.
            Berbeda dengan ulama-ulama tekstualis-eksklusif, Ulama-ulama kontekstualis-inklusif dengan menggunakan Hadits yang sama, mereka tidak hanya menyertakan asbâb al-wurûd, tetapi mereka juga mempertimbangkan implikasi sosial yang ditimbulkan dari hukum tersebut. Karena hukum itu tidak beroperasi di ruang kosong. Di samping itu, Al-Qur’an sebagai sumber otoritatif betul-betul memayungi argumetasi mereka. Itulah letak kekuatan hujjah kelompok kedua ini dibangdingkan kelompok pertama. Meskipun demikian, bersikap taken for grented terhadap pendapat mereka bukan sesuatu yang tepat karena semua pendapat para ulama, baik tekstualis, maupun kontekstualis sama-sama berada dalam wilayah relatif.
            Oleh karena itu, berpijak pada uraian di atas, penulis berpandangan bahwa umat Islam wajib menghormati orang atau umat lain tanpa harus melihat agama, sosial dan bahkan ekonomi mereka. Sikap menghormati orang lain didasarkan pada prinsip saling memahami tentang hal-hal yang terkait dengan ritual penghormatan sehingga penghormatan yang dilakukan mencapai sasaran dan berdampak positif secara psikis dan sosiologis.  Pada titik ini, ucapan salam akan menjadi sia-sia disampaikan pada orang yang tidak faham  maksud dan tujuan salam. Dan salam menjadi sunnah diucapkan kepada non Muslim jika yang bersangkutan faham dan salam tersebut berimplikasi positif bagi syiar Islam dan bagi dirinya, khususnya dalam kehidupan sosial.
            Selanjutnya, wajib hukumnya  menjawab salam seseorang yang memahami dengan benar isi dan maksud yang terkandung salam serta diucapkan dengan tepat. Salam tersebut dijawab dengan kalimat minimal sama dengan kalimat yang didengar, baik pengucap salam tersebut Muslim atau Non Muslim. Dan sebaliknya, jika salam yang diucapkan tidak memenuhi ketentuan tersebut, apalagi dengan maksud bermain-main, menggoda, dan menghina, maka cukup dijawab dengan kalimat wa alaikum, baik yang mengucapkan itu Muslim atau Non Muslim.               
            Terakhir, apa yang dikatakan penulis di atas sekedar memenuhi syarat fiqh, salah satu unsur penting dalam Islam. Islam tidak hanya sekedar hukum. Namun, yang jelas Islam adalah al-Salam, kedamaian, keramahan, kasih sayang dan kelembutan. Dalam hal ini secara jelas Allah berfirman: “Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata tidak sopan), mereka menjawab: salam sejahtera” (QS. 25:65). Karenanya, local genius yang dimiliki oleh orang-orang tertentu akan turut mewarnai praktik salam kepada Non Muslim sesuai dengan pemahaman mereka pada ayat tersebut. Wa Allâh a’lâm bi al-shawâb

















Daftar Pustaka


Departemen Agama Republik Indonesia,  TerjemahanAl-Qur’an al-‘Adzîm,

Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’an al-A’dzim, Bairut, Dâr Ihya’ al-Turâts al-‘Arabi, Juz. I, t.th.

Sayyid Quth, Fî Dzilâl al-Qur’an,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th.,  jild. 2, juz 5

Shahih Bukhori: Kitab al-Jihad, Bab al-Du’a ‘ala al-Musyrikin, No. 2935 

Syekh Manshûr Alî Nâshif, Al-Taj al-Jami’u li al-Ushul fî Ahâdîtsi al-Rasûl Saw., juz  al-khômis,  al-fashl al-tsâi fî al-Salâm,

Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar ,Mesir,  Maktabah Al-Qahirah, Juz, V, t.th.



[1] Inilah kalimat salam yang dimaksud sesuai dengan hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmidzi dari ‘Imran ibnu Hushain r.a. ( Lihat  Syaikh Mnshûr Alî Nâshif, Al-Taj al-Jami’u li al-Ushul fî Ahâdîtsi al-Rasûl Saw., juz  al-khômis,  al-fashl al-tsâi fî al-Salâm, hlm. 245. Dalam hadîts yang lain, kalimat salam berbunyi “assalûmu ‘alaika” (ka: untuk kata ganti tunggal,bukan kum; kata ganti jama’ (baca Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’an al-A’dzim, Bairut, Dâr Ihya’ al-Turâts al-‘Arabi, Juz. I, hlm. 531      
[2] Lihat kalimat aslinya dalam Al-Taj, Ibid. hlm. 249
[3] Lihat kalimat aslinya dalam Al-Taj, Ibid. hlm. 249
[4] Lihat kalimat aslinya dalam Al-Taj. Ibid. hlm. 249
[5] Baca Shahih Bukhori: Kitab al-Jihad, Bab al-Du’a ‘ala al-Musyrikin, No. 2935 
[6] Sayyid Quth, Fî Dzilâl al-Qur’an,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th.,  jild. 2, juz 5, hlm. 471
[7] Ibid., hlm. 471
[8] Ibid., hlm. 472
[9] Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’an al-A’dzim, Bairut, Dâr Ihya’ al-Turâts al-‘Arabi, Juz. I, hlm. 531
[10] Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’an al-A’dzim, Ibid. hlm. 532

[11] Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’an al-A’dzim, Ibid. hlm. 532
[12] Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif, Op.cit., hlm. 249
[13] Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’an al-A’dzim, Op.cit., . hlm. 531
[14] Syakh Mansûr ‘Ali Nâshif, Op.Cit., hlm. 249
[15] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar ,Mesir,  Maktabah Al-Qahirah, Juz, V hlm. 311
[16] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 311
[17] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 312
[18] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 313
[19] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 313
[20] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 313
[21] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[22] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[23] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[24] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[25] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[26] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 315
[27] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[28] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[29] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 314
[30] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 315
[31] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 315
[32] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 316
[33] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 316
[34] Sekedar mengingatkan bahwa penjelasan Qatadah ini juga kutip oleh Ibnu Katsîr dan sebagai rujukan bagi pemikirannya.
[35] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., hlm. 312
[36] Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid.,  hlm. 313

KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Syamsul Arifin[1]



Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tampa pengetahuan….. (QS. VI: 108)

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengganggu kaum dzimmi (non-Muslim),
maka ia telah mengganggu aku” (Al-Hadits)
 
            Hingga saat ini, perjalanan sejarah kehidupan manusia masih sulit terhindar dari konflik. Dan inorisnya, kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik acap kali membawa bendera agama atau aliran dalam agama, seperti perang Salib, konflik di Ambon dll, sehingga tidak terhindarkan adanya sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi konflik antar pemeluk dalam satu agama atau konflik  antar umat beragama. Kemudian kesimpulan tersebut digeneralisasi menjadi sebuah thesis bahwa adanya konflik agama disebabkan oleh keberagaman agama. Oleh karena itu, agama harus dijadikan satu atau agama sebaiknya ditiadakan agar tidak ada konflik lagi. Kesimpulan seperti ini pernah dilontarkan oleh pemikir Islam Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (865-934) 
            Kesimpulan ini tidak saja salah arah, tetapi juga sangat membahayakan bagi keberadaan agama-agama, termasuk agama Islam. Sebenarnya, jika dikaji secara teliti dan mendasar, meletusnya apa yang disebut dengan “konflik agama”, terutama konflik agama yang berskala besar, seperti perang Salib atau kasus Ambon, tidak hanya dipicu oleh kesadaran teologis yang sempit, tetapi juga dipicu oleh kesadaran primordialisme sosiologis, politis, dan ekonomis. Dan bahkan sebenarnya kesadaran jenis kedua yang menjadi faktor utama meletusnya sebuah konflik, kemudian kesadaran teologis diikutsertakan dalam konflik tersebut sebagai alat untuk mempermudah menarik simpati masyarakat yang seagama  dan sebagai strategi yang efektif untuk memobilisasi massa.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa meletusnya konflik agama bukan disebabkan oleh agama itu sendiri atau bukan disebabkan keberagaman agama semata, tetapi disebabkan oleh tingkat pemahaman umat beragama terhadap ajaran agamanya dan faktor-faktor lain di luar agama. Maka tingkat pemahaman keagamaan yang tinggi dan konprehensip menjadi power yang sangat dahsat bagi umat beragama untuk mencegah dan meredam meletusnya “konflik agama”.  
            Kebenaran agama yang bersifat absolut di satu sisi, keyakinan dan klaim umat beragama bahwa agamanya yang paling benar di sisi yang lain memang menjadi potensi yang tidak kecil yang mengarah kepada  munculnya “konflik agama”, tetapi kedua sisi tersebut didesain bukan untuk memicu “konflik agama”, tetapi untuk melahirkan gaerah keagamaan bagi umat beragama. Bahkan Al-Qur’an melarang keras umat Islam melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan agama lain, apalagi merugikan dan merusaknya.  Penjelasan ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’nam ayat 108 yang berbunyi: “ Dan janganlan kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melapaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apayang dahulu mereka kerjakan” .
            Dari uraian singkat di atas, penulis ingin kemukakan bahwa dalam perspektif Islam, kerukunan hidup beragama bukan sebatas dimaknai bagaimana perilaku keagamaan umat beragama tidak memicu lahirnya “konflik agama” yang secara konseptual direalisasikan dalam bentuk perilaku sosial, seperti menghormati agama orang lain dan tidak meng-Islam-kan secara paksa orang yang sudah beragama (QS. 109: 1-6), (QS.2:256), tetapi kerukunan dalam hidup beragama juga diartikan bahwa pemeluk agama non-Islam juga bagian dari umat Islam. Kerukunan dalam arti yang kedua ini teraktualisasi dalam konsep ukhwah wathaniyah dan ukhwah insaniah.
            Konsep ukhwah wathaniyah, sebagai aktualisasi dari kerukunan dalam arti yang kedua, secara jelas dijabarkan dalam Shahifah Madinah atau konstitusi negara Madinah – oleh banyak pengamat agama, sosial, dan politik Shahifah ini disebut  konstitusi modern. Dalam Shahifah tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Madinah yang terdiri dari beberapa suku dan agama sebagai umatan wâhidah (satu umat) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, seperti saling membantu dan saling melindungi antarsesama warga Madinah tanpa melihat asal agama dan suku. Hal ini dapat dilihat pada  pasal 25 berbunyi “Kaum Yahudi dari “awf  adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang dzalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya”, dan pada pasal 37 yang berbunyi “Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan adalah khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada yang teraniaya”. (lihat Muhammad Hamidullah, Majmu’ah al-Wasa’iq al-siyasiyyah li al-A’hd al-Nabawyy wa al-Khalifah al-Rasyidah; 1969, 39-47)
            Bahwa pemeluk agama non-Islam adalah sebagai bagian dari umat Islam sehingga disebut umatan wâhidah juga dapat dipahami dari Sabda Rasulullah yang berbunyi:” Barangsiapa yang mengganggu ( hadits lain “menyakiti ) kaum dzimmi, maka ia telah mengganggu aku (al-Hadits).
            Makna yang terkandung dalam hadits tersebut adalah bahwa di luar masalah teologi, kaum dzimmi[2] tidak saja bagian umat Islam, bahkan bagian dari kehidupan Rasulullah. Rasululllah menilai bahwa kaum Dzimmi juga turut berperan mewujudkan “masyarakat madani” yang dirintis oleh Rasulullah sendiri. Maka mengganggu kaum Dzimmi, berarti menciderai atau merusak “masyakarat madani”. Di sini Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, semua komponen-komponen masyarakat yang ada mempunyai andil yang tidak kecil dalam membangun sistem kehidupan. Maka rusaknya atau tidak berfungsinya salah satu komponen masyarakat, akan mengganggu atau bahkan merusak sistem kehidupan yang ada. Oleh karena itu, barangsiapa yang merusak suatu unsur dalam masyarakat yang sudah baik,  berarti secara tidak langsung ia telah merusak sistem kehidupan itu sendiri.
             Dalam hadits tersebut, Rasulullah seakan-akan ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi apa yang disebut dengan inter independensi, saling membutuhkan dan saling ada ketergantungan. Jika inter independensi menjadi sebuah prinsip dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak boleh tidak harus dipegang teguh oleh setiap anggota dan komponen masyarakat, maka memahami arti “kerukunan hidup beragama” adalah bagaimana antarumat beragama dapat saling melindungi, memelihara dan mengamankan, bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu mungkin dapat  meningkatkan sesuatu yang bersifat psikologis, sosiologis, profan-material duniawi yang dimiliki oleh setiap umat beragama.
Pemahaman “kerukunan hidup beragama” seperti ini akan bersifat aktif dan dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan itu sendiri. Dan secara ontologis, pemahaman kerukuanan seperti itu juga besar kemungkinan dapat menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh setiap umat beragama, seperti membangun struktur dan tata nilai kehidupan yang lebih beradab dan humanis.
Selanjutnya, konsep Ukhwah Insaniyah sebagai aktualisasi dari kekurukan yang termasuk dalam arti kedua dapat kita temukan dalam Sabda Rasulullah saw. yang disampaikan ketika beliau sedangkan menjalankan ibadah haji di ‘Arafah (Makkah) yang berbunyi: “ Wahai manusia, sesungguhnya jiwa, harta dan harga dirimu semua adalah mulia seperti mulia hari (‘Arafah) ini, tanah suci Makkah ini, dan bulan (haji) ini”.
Dalam hadits tersebut, Rasulullah mengawalinya dengan kata “wahai manusia” bukan dengan kata “ wahai orang-orang Islam atau orang-orang yang beriman”. Dalam hadits tersebut, tampak dengan jelas, bahwa Rasulullah mempunyai komitmen kemanusiaan yang bersifat universal dan sangat tinggi. Hal ini tampak jelas pada pandangan Nabi Muhammad yang secara tegas menyamakan kemuliaan jiwa dan harga diri manusia dengan kemulian tanah Suci Makkah dan bula Haji.
 Jiwa dan harga diri manusia merupakan simbolisasi dari unsur-unsur internal dan bersifat inheren  pada setiap diri manusia. Pada dasarnya, setiap manusia mendambakan kedekatan kepada Tuhan, kejujuran, keadilan, kedamaian, kebenaran yang bersemayam dalam jiwanya dan menolak hal-hal yang bersifat kebalikannya. Semua ini menjadi titik temu untuk menyatukan umat beragama yang satu dengan lainnya. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan  oleh Islam, membenci, apalagi menyakiti atau membunuh seseorang hanya alasan berbeda agama. Dan Al-Qur’an sendiri hampir tidak pernah mengecam manusia, tetapi yang dikecam Al-Qur’an adalah sifat-sifat manusianya, seperti term “al-mujrîmûn, al-munâfiqûn, al-kâfirûn” dll.
Berbeda dengan konsep Ukhwah Wathiyah, dimana pemaknaan “Kerukunan Hidup Beragama” ditekankan kepada dimensi sosialnya karena manusia (baca umat beragama) ditempatkan sebagai makhluk sosial, dalam konsep Ukhwah Insaniyah, pemaknaannya ditekankan kepada pemahaman eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan yang secara individual mempunyai banyak kesamaan nilai-nilai antara manusia yang satu dengan lainnya.  
Penutup.        
            Sebenarnya, konsep “kerukunan hidup beragama” yang ada selama ini kemunculannya didorong oleh adanya pemahaman terhadap apa yang disebut dengan “konflik agama”, sehingga wujud konsep tersebut bersifat reaktif. Maka wajar jika konsep tersebut  mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam menjawab persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antar umat beragama. Adanya konflik yang membawa simbol-simbol keagamaan akhir-akhir ini adalah contoh konkrit dari kebenaran pernyataan di atas. Oleh karena itu, merekonstruksi konsep “Kerukunan hidup beragama” tersebut, merupakan agenda yang sangat mendesak untuk dilakukan. Dan makalah yang sangat sederhana ini dapat dinilai sebagai langkah awal untuk melakukan proyek tersebut.




[1] .Pemakalah adalah Staf Pengajar di Universitas Udayana
   
[2]               Kaum Dzimmi atau kafir Dzimmi merupakan istilah yang banyak digunakan dalam dunia fiqh, termasuk fiqh al-siyasi. Dalam kajan fiqh, kafir Dzimmi didevinisikan sebagai kelompok masyarakat non-Muslim yang hidup ditengah-tengah umat Islam dan bersedia menjalankan sistem aturan yang ada, seperti membayar Jazyah (upeti). Dalam kajian sosial, kaum Dzimmi mungkin dapat dipahami sebagai simbolisasi dari sebauh komponen masyarakat non Muslim yang berprilaku baik, taat terhadap sistem aturan yang ada dalam masyarakat, serta berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.